TUBAN, IN – Sidang kasus dugaan pemerasan yang melibatkan 12 orang terdakwa digelar di Pengadilan Negeri Tuban, Jawa Timur. Para terdakwa menghadapi dakwaan Pasal 368 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP. Namun, perhatian publik tertuju pada fakta bahwa para terdakwa menjalani proses hukum tanpa didampingi oleh kuasa hukum, sebuah pelanggaran terhadap prinsip-prinsip yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dakwaan dan Persidangan
Para terdakwa diduga melakukan pemerasan secara bersama-sama, sebagaimana diatur dalam Pasal 368 ayat 1 KUHP. Pasal ini mengatur ancaman pidana bagi siapa pun yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa orang lain untuk memberikan sesuatu, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Sementara itu, juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP menegaskan keterlibatan bersama dalam suatu tindak pidana.
Sidang perdana berlangsung dengan agenda pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Namun, ketidakhadiran kuasa hukum untuk mendampingi terdakwa menjadi sorotan utama.
Pelanggaran Hak Terdakwa
Ketidakhadiran kuasa hukum dinilai bertentangan dengan Pasal 56 KUHAP, yang mengatur bahwa terdakwa dalam perkara pidana yang diancam pidana mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara di atas 15 tahun wajib didampingi penasihat hukum. Bahkan jika ancaman pidana kurang dari itu, hak atas pendampingan hukum tetap diakui sebagai bagian dari prinsip fair trial.
“Proses hukum yang tidak didampingi kuasa hukum berpotensi melanggar hak-hak terdakwa untuk mendapatkan pembelaan yang adil,” ujar salah satu pengamat hukum yang enggan disebutkan namanya.
Begitu juga dengan salah satu keluarga terdakwa atau istri salah seorang terdakwa yang mengatakan bahwa suaminya tidak pernah ditawari untuk didampingi kuasa hukum sejak diproses di kepolisian.
“Sejak awal suami saya tidak pernah didampingi kuasa hukum,” terangnya.
Namun, pengamat menilai seharusnya pengadilan dan jaksa memastikan hak-hak terdakwa terpenuhi, termasuk memberikan informasi yang memadai terkait pendampingan hukum.
Kasus ini tidak hanya menarik perhatian karena dugaan tindak pidananya, tetapi juga karena potensi pelanggaran hak-hak terdakwa dalam proses peradilan. Langkah korektif dari pengadilan dan JPU diperlukan untuk memastikan proses hukum berjalan sesuai dengan asas-asas keadilan yang diatur dalam hukum positif Indonesia.
Publik menantikan perkembangan lebih lanjut terkait kasus ini, termasuk apakah pengadilan akan mengambil langkah untuk menghadirkan kuasa hukum bagi para terdakwa. (tim)