JAKARTA, IN – Dualisme peraturan terkait pemasangan reklame di jembatan penyeberangan orang (JPO) di Jakarta menimbulkan kebingungan di masyarakat dan kalangan pengusaha reklame. Peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Daerah (Perda) Ketertiban Umum dan Perda Penyelenggaraan Reklame, yang memiliki ketentuan saling bertolak belakang.
Jika melihat kedudukan hukumnya, Perda Ketertiban Umum memang sangat tegas melarang reklame di JPO. Pada Pasal 21 poin A disebutkan bahwa setiap orang atau badan dilarang mencoret-coret, menulis, melukis, atau menempel iklan di dinding atau di tembok, jembatan lintas, jembatan penyeberangan orang, halte, tiang listrik, pohon, kendaraan umum, dan sarana umum lainnya.
Namun, dalam Perda Penyelenggaraan Reklame Pasal 13 disebutkan bahwa setiap penyelenggaraan reklame pada sarana dan prasarana kota di kawasan (zoning) peletakan titik reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), harus mendapat izin tertulis dari gubernur atau pejabat yang ditunjuk. Aturan ini seolah memberikan peluang untuk memasang reklame di JPO, selama ada izin dari pihak berwenang.
Ketidaksesuaian antara kedua aturan tersebut memunculkan kerancuan, terutama bagi pelaku usaha reklame. Di satu sisi, mereka dikenakan kewajiban pajak atas pemasangan reklame, tetapi di sisi lain, keberadaan reklame di JPO dianggap melanggar aturan. Hal ini juga membuat aparat penegak aturan di lapangan menghadapi dilema dalam mengambil tindakan.
Dari perspektif tata ruang, reklame di JPO sering dianggap mengurangi estetika kota dan dapat membahayakan keamanan pengguna jalan jika pemasangannya tidak memenuhi standar. Namun, pemasangan reklame juga menjadi salah satu sumber pendapatan pajak daerah yang signifikan.
Hingga saat ini, reklame di JPO tetap menjadi perdebatan di berbagai kalangan. Harmonisasi regulasi menjadi kebutuhan mendesak untuk memastikan semua pihak dapat memahami dan menjalankan aturan dengan baik tanpa menimbulkan konflik hukum atau kerugian.(t9)