Tidak Semua Juru Parkir adalah Preman

Gravatar Image

Langkah tegas aparat keamanan dalam membentuk Satgas Antipreman dan menggelar Operasi Antipremanisme di berbagai titik di Jakarta Barat menuai beragam tanggapan. Di satu sisi, masyarakat mengapresiasi keseriusan negara dalam memberantas aksi premanisme yang meresahkan. Di sisi lain, muncul keresahan dari kalangan pekerja informal, khususnya juru parkir, yang merasa tersudut meski tidak terlibat praktik premanisme.

Sebagai Penasihat Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Kota Jakarta Barat, saya mengamati langsung dinamika di lapangan. Ada suara-suara masyarakat yang perlu kita dengar dengan empati dan kebijaksanaan.

“Kami bukan pemalak, Pak. Kami bantu atur kendaraan biar nggak semrawut, kami kerja bantu pemilik toko juga. Tapi sejak ada operasi, kami takut dibilang preman. Mohon kami dibedakan,”
— ujar salah seorang juru parkir di kawasan Kalideres.

Tokoh pemuda Kalideres, Mas Wondo, yang aktif membina generasi muda dan lingkungan sekitar, mengaku menerima banyak keluhan dari para juru parkir yang khawatir kehilangan mata pencaharian. Dalam satu kesempatan, ia menyampaikan:

“Kami sepakat bahwa premanisme harus diberantas. Tapi banyak juga warga yang kerja jujur, bantu jaga parkir, bukan meresahkan. Kami, para tokoh pemuda, memohon petunjuk dan arahan dari Bapak Anton Haliman selaku Penasehat SMSI Jakarta Barat—agar kami bisa menyampaikan aspirasi warga tanpa melanggar jalur hukum dan ketertiban,” ujar Mas Wondo.

Nada serupa juga disampaikan Ahmad Yani, tokoh pemuda dari Hutan Jati yang selama ini aktif dalam kegiatan sosial dan advokasi anak muda:

“Kami mendukung penuh aparat penegak hukum. Tapi kami juga melihat adanya ketegangan di lapisan bawah. Kami berharap bisa diarahkan oleh Pak Anton, bagaimana kami bisa membantu menjembatani antara masyarakat dan pihak berwenang, agar operasi ini tepat sasaran, tidak menyakiti yang tak bersalah,” katanya dengan penuh harap.

Suara Rakyat Butuh Saluran, Bukan Stigma

Sebagai Penasihat SMSI, saya percaya bahwa tugas media dan tokoh masyarakat bukan hanya menyuarakan kebijakan, tetapi juga menjaga keseimbangan nalar dan nurani. Kita perlu membedakan mana pelaku premanisme yang harus ditindak tegas, dan mana warga yang masih bekerja dalam kerentanan sosial.

Operasi penertiban sangat diperlukan. Namun marilah kita tempuh dengan pendekatan yang selektif, manusiawi, dan solutif. Di sinilah peran tokoh pemuda seperti Wondo dan Ahmad Yani menjadi penting—sebagai jembatan sosial yang mampu menjelaskan realitas di lapangan kepada otoritas.

Himbauan untuk Rekan-Rekan Media:

Dalam semangat Idul Adha yang semakin dekat, kami dari SMSI Jakarta Barat juga mengajak seluruh insan media untuk terus menjunjung jurnalisme yang jernih dan empatik. Marilah kita tidak sekadar menyampaikan kabar, tetapi juga mendampingi masyarakat memahami kebijakan—agar tidak muncul kesalahpahaman yang memicu gesekan.

Sebagaimana qurban adalah simbol penyembelihan ego dan nafsu yang membelenggu, maka dalam ruang publik pun, kita diajak untuk menyembelih prasangka, memotong generalisasi, dan mengikis sikap reaktif yang tak berpijak pada kebenaran.

Mari jaga harmoni, dan bantu masyarakat mengerti.

Anton Haliman, MBA
Penasihat
Serikat Media Siber Indonesia – Kota Jakarta Barat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *