JAKARTA, Indonesian News – Lantaran belum mendapat jawaban atas surat yang dikirim ke Ketua Badan Pengawasan (Bawas) Mahkamah Agung (MA) pada 10 Januari 2025 (Nomor: 02/LBH & LSM/I/2025) dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia (KY RI) pada 6 Februari 2025 (Nomor: 05/LBH & LSM/II/2025), Iskandar DG Pratty, SH., dan Hinda Kartawidjaya dari LBH Progresif mengirim surat kepada Ketua Ombudsman RI pada 28 Februari 2025 (Nomor: 06/LBH & LSM/II/2025).
Dalam surat tersebut, LBH Progresif mempertegas isi surat yang sebelumnya dikirim oleh M. Ari Hariansyah, SH., MH., pada 21 November 2024 (Nomor: 08/MAH.LOH/XI/2024) terkait dugaan ketidaksesuaian Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor: 2315K/Pdt/2024 dengan bukti surat dan fakta hukum. Putusan tersebut dikeluarkan oleh tiga Hakim Agung, yakni DR. H. Panji Widagdo, SH., MH., DR. Ibrahim, SH., MH., L.L.M., dan DR. Pri Pambudi Teguh, SH., MH.
Menurut LBH Progresif, putusan tersebut sangat merugikan klien mereka dan saat ini sedang dalam proses Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung RI dengan pengiriman berkas pada 21 November 2024 (Nomor: W29.U4/7381/H.T.04/09/X1/2024).
Latar Belakang Sengketa
Perkara ini bermula dari pembuatan tiga Akta Hibah oleh Notaris/PPAT Yendra Wiharja, SH., MH., pada 4 April 2005, yakni:
- Akta Hibah Nomor: 001/2005
- Akta Hibah Nomor: 002/2005
- Akta Hibah Nomor: 004/2005
Akta Hibah Nomor: 004/2005 yang dibuat antara YF Soedarso dengan H. Djario telah diterbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor: 3424/Benda atas nama H. Djario, yang kemudian dijual kepada PT. Bumiraya Anugrah Jaya dan menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor: 1656/Benda.
Namun, sengketa muncul ketika Maria Rundina Soedarso melaporkan PT. Bumiraya Anugrah Jaya ke Polres Metro Tangerang pada 12 Agustus 2019 (Nomor: LP/B/732/VIII/2019/PMJ/Resto Tng Kota) dengan alasan Akta Jual Beli yang menjadi dasar kepemilikan tanah tidak terdaftar di Kecamatan Batuceper. Laporan ini tidak cukup bukti dan dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada 29 April 2021 (Nomor: SP TAP/55a/IV/RES/1.2/2021).
Tidak lama kemudian, GE Rijono Soedarso juga melaporkan H. Djario ke Bareskrim Polri pada 22 April 2021 (Nomor: LP/B/00117/l/2019/Bareskrim), yang kemudian berkasnya dilimpahkan ke Polres Kota Tangerang. Namun, karena H. Djario telah meninggal dunia, laporan ini juga dihentikan dengan SP3 pada 29 April 2021 (Nomor: S.TAP/54/IV//RES,1,2/2021).
Ahli waris H. Djario kemudian melaporkan Salvatore Rekarnanto Soedarso ke Polresta Tangerang pada 10 Juni 2021 (Nomor: LP/B/665/VI/2021/PMJ/Restro Tng Kota) dengan dugaan penggunaan surat palsu, yaitu beberapa Akta Jual Beli yang dibuat oleh Camat Batuceper pada 26 Januari 1983.
Berdasarkan surat Camat Batuceper pada 30 September 2020 (Nomor: 594/21-PPAT/IX/Btc/2020), akta-akta tersebut tidak tercatat dalam register kecamatan. Selain itu, menurut surat Lurah Benda pada 27 Oktober 2020 (Nomor: 593/22 Kel. Benda), Nomor Girik yang tercantum dalam Akta Jual Beli tersebut atas nama pihak lain dan bukan pihak yang menjual tanah kepada YF Jos Soedarso.
Pada 16 Februari 2022, Salvatore Rekarnanto Soedarso mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Tangerang dengan Perkara Nomor: 172/Pdt.G/2022/PN.Tng, namun gugatannya ditolak karena kepemilikan tanahnya tidak terdaftar, baik dalam Girik maupun Akta Jual Beli. Putusan ini diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Banten dalam Putusan Nomor: 159/Pdt/2024/PT. BTN.
Putusan Kasasi yang Dinilai Bermasalah
Salvatore Rekarnanto Soedarso kemudian mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung, yang menghasilkan Putusan Kasasi Nomor: 2315K/Pdt/2024. Namun, putusan ini dinilai bermasalah karena mengesahkan Akta Jual Beli yang tidak tercatat secara resmi dan mengabaikan bukti kepemilikan sah dari Kelurahan Benda, Kecamatan Batuceper, serta Notaris/PPAT dan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Atas dasar itu, LBH Progresif bersama M. Ari Hariansyah, SH., MH., mengajukan Kontra Memori PK pada 5 November 2024 dan meminta agar Mahkamah Agung RI menunjuk Hakim Agung yang memahami sengketa tanah secara mendalam.
Permintaan LBH Progresif kepada Ombudsman RI
LBH Progresif menegaskan bahwa surat yang dikirim ke Ketua Komisi Yudisial RI dan Ketua Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI bukan untuk meminta perubahan putusan, melainkan untuk meminta klarifikasi dan tindakan atas dugaan kekeliruan dalam putusan yang dikeluarkan oleh tiga Hakim Agung tersebut.
Mereka juga meminta Ombudsman RI untuk memberikan teguran atau tindakan atas putusan yang dianggap tidak sesuai dengan bukti surat dan fakta hukum.
“Apa artinya menang di atas kertas jika putusan tersebut tidak bisa digunakan? Banyak putusan yang tidak sesuai dengan harapan rakyat Indonesia, yang pada akhirnya merusak citra Mahkamah Agung RI di mata publik,” demikian pernyataan LBH Progresif dalam suratnya kepada Ombudsman RI. (Red)