BEKASI, Indonesian News – Upaya mengedepankan profesionalisme dan integritas jaksa yang kerap digaungkan oleh Kepala Kejaksaan Agung RI, Sanitiar Burhanuddin, dalam penegakan hukum yang bermanfaat dan bermartabat, tampaknya hanya menjadi seremonial belaka. Faktanya, hal tersebut berbanding terbalik dengan realitas yang terjadi di lapangan. Ibarat pepatah, jauh panggang dari api.
Buruknya sistem peradilan dalam beberapa tahun terakhir di berbagai wilayah hukum di Indonesia menjadi perbincangan hangat di masyarakat, terutama di kalangan pencari keadilan. Fenomena ini diperparah dengan adanya oknum jaksa “nakal” yang mencederai sistem hukum yang seharusnya adil dan transparan.
Baru-baru ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ikhsan dari Kejaksaan Agung (Kejagung) menjadi sorotan publik dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan “Big Boss” distributor sediaan farmasi ilegal dalam jumlah besar. Terdakwa dalam kasus ini adalah Anni Tjen dan Hadi Susanto, yang menghadapi tuntutan terkait peredaran ratusan ribu boks berbagai jenis farmasi ilegal.
Kedua terdakwa, yang seharusnya mendapat perlakuan hukum yang sama dengan pelaku pidana lainnya, justru mendapat perlakuan istimewa selama proses persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Kota Bekasi. Mereka tidak ditahan oleh jaksa maupun majelis hakim, bahkan memiliki keleluasaan dalam menghadiri sidang tanpa batasan waktu. Selain itu, pembacaan tuntutan terhadap mereka mengalami penundaan hingga empat kali.
Sorotan lain dalam kasus ini adalah keberadaan Agus dan Danny, yang disebut dalam surat dakwaan jaksa sebagai pemilik awal barang yang dipesan dan dibeli oleh kedua terdakwa. Anehnya, mereka tidak ditetapkan sebagai tersangka ataupun masuk dalam daftar pencarian orang (DPO), sehingga tetap bebas tanpa tersentuh hukum.
Kasus ini bermula dari pengungkapan yang dilakukan oleh Direktorat Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI bersama Korwas PPNS Bareskrim Polri pada Februari 2024. Penggerebekan dilakukan di kawasan Ruko Town Square Blok D10, Kelurahan Margahayu, Kecamatan Bekasi Timur, Kota Bekasi, Jawa Barat, dengan barang bukti berupa ratusan ribu boks berbagai jenis sediaan farmasi ilegal.
Sidang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Basuki Wiyono, dengan dua hakim anggota, Totok Yanuarto dan Dwi Nuramanu, serta dihadiri oleh JPU pengganti Danu Bagus Pratama dari Kejari Bekasi, akhirnya menetapkan tuntutan kepada kedua terdakwa. Mereka hanya dijatuhi denda sebesar Rp150 juta, dengan hukuman subsider satu tahun penjara. Putusan ini langsung menjadi bahan perbincangan publik.
Dalam tuntutannya, kedua terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar serta tidak memiliki izin edar. Hal ini melanggar Pasal 138 ayat (2) dan ayat (3) juncto Pasal 435 Undang-Undang RI No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Ironisnya, meskipun ancaman hukuman maksimal untuk kasus ini mencapai 12 tahun penjara dengan denda maksimal Rp5 miliar, JPU Ikhsan dari Kejaksaan Agung tampaknya mengabaikan hal tersebut. Keputusan ini pun memunculkan dugaan bahwa jaksa lebih memilih untuk melindungi kepentingan “Big Boss” di balik kasus ini.
Buruknya integritas JPU Ikhsan dalam menangani perkara ini memicu reaksi negatif dari publik. Slogan profesionalisme dan integritas yang kerap digaungkan oleh Jaksa Agung pun dianggap sekadar isapan jempol.
Menanggapi hal ini, dilansir dari media Harapan Rakyat Online, Ketua Umum LSM LP2I, Eduward, S.H., M.H., menyampaikan kritik tajam. Ia menilai masih ada oknum jaksa bermental korup yang mencoreng nama baik Korps Adhyaksa demi keuntungan pribadi, serta mengabaikan rasa keadilan di masyarakat.
“Kejaksaan Agung harus memberikan sanksi tegas kepada Jaksa Ikhsan sebagaimana amanat Peraturan Kejagung RI No. PER-014/A/JA/11/2012. Hal ini penting untuk memberikan efek jera kepada seluruh jaksa dari tingkat bawah hingga tertinggi demi menjaga marwah dan wibawa institusi kejaksaan serta keadilan bagi masyarakat,” pungkas Eduward.
(tim)